Breaking News

Kena Hipnotis, Perawan ku Berhasil DiRenggut Bapak Senior Tempatku Bekerja.

Kena Hipnotis, Perawan ku Berhasil DiRenggut Bapak Senior Tempatku Bekerja.

Kena Hipnotis, Perawan ku Berhasil DiRenggut Bapak Senior Tempatku Bekerja.

DetikGadis - Empat bulan setelah selesai studi di satu perguruan tinggi pariwisata, aku diterima kerjadi perusahaan jasa kepariwisataan yang cukup ternama. Ini berkat referensi dari seorang dosenku yangl akrab dengan pimpinan perusahaan itu.




O..ya, namaku Sasmithaputri (24 tahun), biasa dipanggil “Mitha.” Banyak orang mengatakan, aku cantik, dan bukan sombong banyak cowok yang mendekatiku dulu sewaktu masih kuliah. Tapi, tak utanggapi serius. Kalau hanya sekedar TTM (teman tapi mesra) memang ada. Tapi, jarang hingga meningkat jadi STSP (status teman, service pacar). Niatku, akan pacaranserius kalau sudah selesai kuliah.

Menurut aturan, kami 15 orang pegawai baru harusterlebih dahul menjalani masa orientasi selama 6 bulan. Masa orientasi itu diakhiri dengan praktek kerja lapangan selam 15 hari di beberapa obyek wisata.. Beberapa karyawan/karyawati senior juga ikut sebagai pendamping sekaligus pembimbing.

Di kantorku ada seorang karyawan senior bernama pak Mustafa (58 tahun), atau dipanggil “pak Mus.” Jabatannya tidak terlalu tinggi, tapi ia justru disegani banyak orang. Bahkan, bos kami juga hormat padanya. Konon, selain ia pernah berjasa kepada bos, juga merupakani tokoh masyarakat yang mengerti soal agama. Tapi ada yang mengatakan, pak Mus memiliki ilmu hitam, punya “pegangan” berbau mistik. Ia lihai memikat wanita karena punya ilmu pemikat seperti “minyak sinyongnyong, putar giling, minyak buluh perindu” atau“semar mesem,” dan “tongkat arjuna,” dan lain-lain.

Sebagai karyawan baru, aku tidak hirau dengan omongan orang tentang pak Mus. Apalagi sejak awal aku kenal pak Mus orangnya baik, penuh perhatian, suka memberikan nasehat, bahkan tak segan membentuku jika ada kesulitan. Sifatnya yang kebapakan membuat aku senang berhubungan dengannya.

Beberapa karyawati senior, dengan bisik-bisik mengingatkanku agar jangan terlalu dekat dengan pak Mus. “Ia doyan perempuan. Isterinya sudah 4, paling muda 18 tahun. Sudah banyak wanita jadi korban pak Mus. Bahkan beberapa karyawati terpaksa mengundurkan diri karena tak tahan godaan pak Mus,” ujar seorang karyawati senior. Tapi aku tetap tak peduli. Bagiku pak Mus tetap orang baik. Apalagi belakangan tanpa diminta pun ia mau mengantarku pulang.

Satu pagi, pak Mus mengingatkanku soal praktek lapangan. “Mitha, minggu depan, sudah harus tugas praktek lapangan. Lokasinya di Yogya. Aku juga ikut jadi pendamping sekaligus pembimbing. Kalau ada kesulitan, jangan malu minta bantuanku. Apalagi, kamu sudah ku anggap keponakan sendiri, ” kata pak Mus. Dengan anggukan kepala aku iyakan perkataan pak Mus.

Seminggu kemudian, kami berangkat ke Yogyakarta. Di Yogya kami mengingap di mess perusahaan. Tugas kami selama di Yogya selain melihat berbagai obyek wisata, juga mengamati kehidupan masyarakat setempat. Hasil pengamatan kami selalu diskusikan bersama. Aku menjalankan semua tugas dengan tekun, dan pak Mus semakin menaruh perhatian padaku. Pada waktu senggang, ia selalu mengajak aku berkeliling kota dengan mobil pinjaman dari kenalannya di Yogya. Ia tak segan-segan mentraktir kami makan di Malioboro, atau berbelanja oleh-oleh.

Entah mengapa, ... selama di Yogya, aku semakin dekat dengan pak Mus. Bersamanya aku merasa teduh. Bahkan, aku tak merasa malu atau sungkan, bila sambil jalan pak Mus menggandeng tanganku, atau meletakkan tangannya dipundakku.




Suatu sore, kembali pak Mus mengajakku jalan-jalan. “Kali ini kita berdua saja.. Ke Kaliurang, melihat puncak Merapi,” kata pak Mus. Lagi-lagi aku tak kuasa menolak permintaannya, meski sedikit kuatir karena sudah menjelang magrib. Lagi pula badanku terasa capek karena seharian belum istirahat. Tiba di Kaliurang, hari sudah malam. Karena aku merasa sangat letih, aku minta aga kembali saja ke Yogya. Tapi pak Mus menenangkanku. “Jangan kuatir, Mitha. Kita nginap saja disini. Aku sudah biasa disini. Pulang besok pagi, anggap saja aku pamanmu sendiri.i” kata pak Mus menenangkanku. Bagai kerbau dicocok hidungnya, aku turuti permintaan pak Mus. Pikiranku kosong, dan tak mampu berpikir jernih saat pak Mus menggandeng tanganku masuk ke sebuah penginapan. Bahkan, ingatanku melayang entah kemana, ketika pak Mus menuntun aku masuk kamar dan memelukku dengan mesra di atas ranjang. Aku baru sedikit tersadar saat pak Mus mencium bibirku, seraya memeluk tebuhku dengan erat.

“Pak... .jangan.” katakusambil dan berusaha melepaskan diri dari dari dekapan erat pak Mus. “Ssst ....nggak apa-apa, kamu sudah dewasa kok,” kata pak Mus sambilmenutup mulutku dengan jarinya berbau rokok, isyarat agar aku diam. Karena aku merasa lemas, pak Mus menyarankan agar aku mandi dan mengganti pakaian dengan baju yang baru di beli tadi siang di Yogya. Setelah aku mandi dan berganti pakaian, giliran pak Mus yang mandi. Ia juga berganti pakaian yang sama motifnya dengan baju yang aku kenakan.

Sementara aku dibiarkannya bergolek sendirian di ranjang. Entah sembayang atau membaca jampi-jampi, kulihat pak Mus duduk bersila di pojokan kamar, sambil mulutnya komat-kamit dan tangannya memegang sebuah benda kecil mirip cincin.

Herannya, saat itu aku hanya diam mematung seperti es. Aku seperti kena hipnotis, pikiranku kosong, ingatanku entah ke mana perginya. Namun aku tetap sadar melihat apa yang dilakukan pak Mus, termasuk saat dia beranjak dari duduknya, kemudian mendekap tubuhku di atas ranjang. Agaknya, pak Mus terangsang melihat tubuhku tergolek di atas ranjang. Mungkin kandungan hormon testoteronnya menggelegak. Pak Mus, memeluk tubuhku sambil membelai rambutku panjang terurai. Mulutnya yang bau rokok sesekali mendarat,mencium pipi dan mengecup bibirku.

Herannya, aku terus diam, tak mampubereaksi. Mungkin pikiranku sudah terpengaruh oleh jampi-jampinya, seperti pernah dikatakan beberapa karyawati senior. Bahkan, tetap diam saat tangannya yangkeriput mendarat didadaku, dan meraba-raba “dua bukitku” yang tegak menantang.

Tak lama kemudian, kancing baju yang aku pakai satu persatu ia tanggalkan. Lagi-lagi aku hanya diam saja, walau sadar menyaksikan apa yang dilakukan pak Mus padaku. Setelah tak sehelai benang pun melekat ditubuhku, pak Mus bagaikan kucing lapar, mencium sekujur badan mulusku.Hampir tak satulekuk-lekuk tubuhku yang ia lewatkan. Dadaku dengan putingnya yang masih segar, perutku yang masih kencang, bahkanbagian paling sensitif dengan bulu-bulu halusnya,--dan belum pernah dijamah oleh seorang lelaki pun-- jadi sasaran mulut pak Mus. Si tua bangka yang sudah keriput di sana sini. Ia tampak sangat berpengalaman.

Pikiranku kosong melayang-layang. Kini, pak Mus mencopotpakaiannya sendiri, dan dengan ganas ia menerkam tubuhku. Lagi-lagi aku hanya bisa pasrah. Aku sudah tak mampu menghitung lagi, berapa kali pak Mus menindih tubuhku, matanya meram-melek dengan suara desahan pertanda nikmat luar biasa. Hampir dua jam lamanyaia menggumuliku.

Menjelang subuh aku terbangun, dan baru sadar kalau sudah semalam aku tergolek bugildisamping pak Mus yang juga tanpa busana. Menyadari sudah tak perawan lagi, aku pun menangis pilu di tepi ranjang yang menjadi saksi perbuatan laknat pak Mus semalam.






No comments