Cerita Sex Terbaru Anak Nakal Jadi Pemuas Nafsu Birahi
Sebenarnya hubunganku dengan Nur masih baik-baik saja. Dia adikku sendiri, dan aku tak bisa meninggalkannya. Dian dan aku melakukannya sembunyi-sembunyi, tanpa sepengetahuan Nur. Nur sangat mencintaiku, aku tahu itu. Kami pun masih berhubungan seperti layaknya suami istri dan masih hot di atas ranjang. Tapi aku mengakui kalau permainanku dengan Dian hanyalah atas dasar kebutuhan saja. Dian juga tahu kalau aku sangat mencintai istriku dan sangat menghormati istriku.
“Mas, aku hamil,” kata Dian.
“Hah? Yang bener?” tanyaku. “Trus, suamimu bagaimana?”
“Dia seneng banget, tapi aku jamin koq ini anak mas,” katanya.
“Koq kamu bisa yakin?” tanyaku.
“Jelas dong, yang sudah menjebol keperawananku cuma mas, dan mas sering nyemprot di rahimku. Jadi deh,” katanya. “Tahu kalau aku hamil mas, dia seneng banget. Dia sombong banget, sampe bilang, ‘Aku perkasa juga’. Padahal dalam hati aku ketawa.”
Kami berdua tertawa.
“Trus gimana dong?” tanyaku.
“Jangan khawatir, ini rahasia kita. Aku akan pelihara anak kita. Ya walaupun nanti manggilnya bukan papa ke mas. Rahasia ini akan tetap kita jaga hingga entah kapan. Aku suka sama mas, aku cinta, tapi aku masih harus menghormati suamiku,” jawab Dian.
“Nanti kalau anakku mirip denganku gimana?” tanyaku.
“Ndak bakal deh, semoga aja ndak. Kalau mirip ya biarin,” jelasnya sambil ketawa. “Tapi biasanya anak mirip ibunya koq, kalau mirip ayahnya ya…ndak tau juga.”
“Kalau misalnya nanti suamimu tahu bagaimana?” tanyaku.
“Yah, itu sudah nasib berarti. Masnya sendiri gimana, mau nerima aku?” tanyanya.
Aku terdiam sebentar, “Harus ijin istri dulu, dan kamu mau menerima aku apapun kekuranganku.”
Dian tersenyum. “Susah juga ya, pastinya mbak Nur ndak bakal mau. Soalnya ia sangat cinta banget sama mas. Kalau misalnya ndak bisa pun tak mengapa. Aku bahagia banget bisa punya anak dari mas. Aku jadi simpanan mas pun aku rela koq. Sementara ini dijalanin dulu aja. Yah, semoga aku bisa dapat anak juga dari suamiku. Masa’ mas terus yang ngasih benih.”
Aku tersenyum dan kami pun berpelukan.
“Untuk terakhir kalinya, boleh dong mas bercinta denganku malam ini, please,” rayunya.
“Aku tak bisa mbak, aku harus ke rumah istriku yang satunya,” kataku.
“Oh iya, aku lupa kalau mas poligami,” katanya. “Istrinya berjilbab semua ya, aku nggak. Pastinya susah kalau mereka semua menerima aku.”
“Siapa tahu, semuanya tergantung dari mbak Dian koq,” kataku.
“Mumpung Nur, masih ke pasar. Kita bercinta cepat yuk mas, terus terang aku sudah horni banget, gatel banget,” katanya. Ternyata nafsu Dian ini besar banget.
Saat itu kami berada di dapur. Aku buru-buru membuka resleting celanaku, menurunkan celanaku dan Dian berpegangan di wastafel. Ia melihat ke jendela sambil mengamati kalau-kalau ada yang masuk ke rumah. Jendela dapur kami ditutup oleh korden tipis, kalau dari luar tak kelihatan tapi kalau dari dalam bisa melihat keluar. Aku langsung menurunkan hot pants Dian, lalu kumasukkan penisku yang sudah tegang juga. Disiram oleh pelumas Dian, penisku langsung on 100%. Aku pun menyodoknya.
“Ohh…mass…enak banget. Ini yang Dian suka, berjanjilah mas jangan lupakan aku!” katanya.
“Tidak bakal Dian, ohh…enak banget memekmu,” kataku.
“Kontol mas, enak banget, gurih…aahh…memekku penuh rasanya,” rancaunya.
Aku menggoyangkan pantatku maju mundur. Dian merem melek, sambil sesekali melihat pagar rumah. Aku pun percepat goyanganku takut kalau Nur pulang. Dan Dian melihat Nur sampai di pagar.
“Mas, ada mbak Nur!” bisiknya.
Aku percepat goyanganku.
“Udah mas, udah…! Ntar ketahuan!” bisik Dian.
Tanggung penisku udah mau keluar, aku pun tuntaskan sekalian. “Dikit lagi, aku
keluar. Ohhh….Diann…hhhmmmhhh,”
Baca Juga : Perawan Ku Diambil Adiku Sendiri Saat Aku Tidur
Baca Juga : 7 Fakta dan cerita unik tentang Bercinta
Kuremas toketnya kuat-kuat saat spermaku menyembur keluar membasahi rahimnya. Pantatku menghujam beberapa kali. Nur tampak disapa oleh tetangga kami, ia kemudian meletakkan kresek belanjaannya di teras kemudian kembali ke luar
rumah untuk berbicara ama salah seorang ibu-ibu komplek.
Dian lega banget, aku mencabut penisku. Lahar putih spermaku mengalir ke pahanya. Ia mencari-cari tissue dan membersihkannya kemudian kami berpakaian lagi. Sex tercepat yang pernah aku lakukan.
Ini adalah terakhir kalinya aku bersenggama dengan Dian, karena setelah itu ia lebih menjaga kehamilannya dan melayani suaminya. Hubungan kami setelah itu adalah seperti tetangga biasa. Bahkan setelah anaknya lahir yang memang sedikit mirip aku, tapi lebih banyak mirip ibunya, kami tak pernah melakukan hubungan itu lagi. Suaminya makin sayang kepadanya dan sekarang berkat nasehatnya suaminya mau terapi biar penisnya lebih besar lagi. Dan sampai saat itu ia tak pernah curiga. Tak tahu nanti seperti apa.
Setelah hubungan panas kami di dapur itu. Aku pun kemudian pergi ke rumah Kak Vidia. Sekarang ini sudah hampir lahiran. Aku menjadi suami siaga. Kak Vidia makin merindukanku. Orang hamil besar biasanya lebih horni. Dan benar, setiap kali aku berkunjung ke rumahnya, Kak Vidia pasti bercinta denganku. Apalagi aku suka sekali sekarang susunya sudah keluar. Aku bisa menyusu kepadanya seperti bayi sekarang. Dan ia sangat terangsang karena perlakuanku kepada putingnya itu. Ia sampai bilang, “Kalau nanti dedeknya lahir, kayaknya papah bakal ada saingan nih. Ini aja nyusunya kayak orok.”
Sama seperti Nur, kak Vidia punya tetangga juga. Sudah punya anak satu. Namanya Isti. Umurnya hampir sama seperti bunda. Anaknya udah kelas 4 SD. Suaminya sendiri bekerja di sebuah perusahaan besi baja di luar kota. Pergi hari Senin, pulang pasti hari sabtu. Dan mereka berkumpul hanya pada hari sabtu dan minggu. Ada juga tetanggaku yang sering mengunjungi kami selain Isti, namanya Erna. Pekerjannya adalah SPG di salah satu mall, walaupun berjilbab, tapi jilbab yang dipakai masih terbilang sexy. Tapi itu ceritanya nanti.
Aku saat itu masih di toko ketika Kak Vidia sudah kontraksi, untunglah tetangga kami bernama Bu Isti ini bisa membantu. Dipanggil taksi kemudian pergi ke rumah sakit. Mendengar kabar itu aku segera pergi ke rumah sakit bersama bunda. Tentu saja bunda sangat senang karena ia akan punya cucu. Ia pergi dengan perut buncit, cikal bakal anakku, dan juga cucunya tentunya.
Di rumah sakit aku pun langsung masuk kamar bersalin dan mendampingi kak Vidia. Kami bahagia sekali ketika sebuah kepala nongol, lalu disusul tubuhnya yang lain. Kami bersyukur lahir normal tanpa cacat. Anaknya laki-laki. Aku kemudian menamainya Zahir. Bunda bahagia sekali punya cucu baru. Nur juga bahagia, ia kuberitahu ketika Kak Vidia lahiran. Ia langsung pergi ke rumah sakit. Wajah anakku ini mirip denganku, bahkan Kak Vidia mengatakan, “Papah kecil.”
“Setelah ini kita pake pembantu aja ya?” usulku ke Kak Vidia.
“Iya deh mas, kalau bunda membantu juga ndak bakal bisa kayaknya ya bund?” kak Vidia menoleh ke arah bunda. Tampak anakku sedang menggeliat-geliat mencari puting susu istriku. Lalu ia pun menyusu.
“Bunda masih kuat koq, masa’ sudah ngelahirin 3 orang anak cuma bantu gini saja ndak kuat. Bunda udah biasa,” katanya sambil mengedip ke arahku.
“Ya sudah, kalau begitu kak Vidia tinggal di rumah bunda aja ya?” kataku.
“Trus, rumahnya bagaimana?” tanya Kak Vidia.
“Ya nggak apa-apa kan? Ditinggal sementara waktu, Kan ndak lama sampai nifasmu selesai baru balik lagi ke rumah. Sementara ini kan kamu masih lemes,” kataku.
“Iya deh pah,” kata kak Vidia. “Tetapi minta tolong dong, itu kayaknya ada atap yang bocor. Papah bisa benerin nggak?”
“Di sebelah mana?” tanyaku.
“Di kamarnya dedek, yang udah kita siapkan itu. Coba deh dibenerin dulu, ntar dedek kalau bocor kamarnya pas hujan kan kasihan,” katanya.
“Iya, iya, nanti aku cek,” kataku.
“Haii Zahir, lucunya. Tuh Laila, itu sepupu Laila, namanya Zahir,” anakku tampak matanya yang bulat mengamati Zahir sambil mengoceh entah bahasa apa. Kami semua tersenyum melihat tingkah polah anak bayi ini. Bunda lalu mencium Laila karena gemes.
Dua hari kemudian aku ke rumah Kak Vidia untuk benerin atap yang bocor. Aku menyewa tukang untuk benerin. Saat itulah Bu Isti menyapaku.
“Gimana mas, lahirannya?” tanyanya.
“Cowok bu,” jawabku.
“Waahh..selamat ya, namanya siapa?” tanyanya.
“Zahir Putra Pratama,” jawabku.
“Alhamdulillah kalau begitu,” katanya. “Mau renovasi mas? Koq ada tukang segala?”
“Iya, atap bocor,” tukasku.
“Mbak Vidianya ke mana? Ke rumah orang tua?” tanyanya.
“Iya, sementara tinggal di sana dulu,” jawabku.
Aku pun kemudian ngobrol ngalor ngidul ama tetanggaku ini. Mulai dari pendidikan, keluarga hingga tempat tinggal. Bu Isti memang tak punya teman untuk diajak bicara di rumah, makanya itu ia sering cerita sana-sini dengan ibu-ibu tetangga yang lainnya.
Ternyata atap bocor karena ada genteng yang retak serta talangnya bocor. Kurogoh kocek untuk membeli apapun yang dibutuhkan oleh tukang. Udah siang hari dan aku belum makan siang.
Bu Isti menyapaku lagi, “Udah makan siang belum mas? Nih buat tukangnya.” Ia membawa nampan berisi gorengan dan kopi.
“Waduh bu, merepotkan saja,” kataku.
“Nggak apa-apa, lagian kasihan tuh mas-mas tukangnya masa’ ndak dikasih minum?” tanyanya.
“Itu udah ada di dalem,” aku menunjuk satu dus minuman ringan dan beberapa potong kue.
“Ini tambahan, mas Doni kalau laper makan di rumahku gih,” ajaknya.
“Gimana ya?” aku agak ndak enak.
“Nggak apa-apa,” katanya.
Aku pun mengangguk. Aku menerima nampannya lalu kuletakkan di meja di dalam rumah. Sementara para tukang bekerja istirahat dulu sambil menikmati suguhan kami. Aku pergi ke tetangga sebelah. Bu Isti langsung mempersilakan masuk. Anaknya tampak sudah pulang dan sedang menonton tv. Anaknya seorang cewek namanya Luna. Melihatku masuk ia tampak senang sekali.
“Om? Boleh ya main ke rumah Om seperti kemaren?” tanyanya.
“Ya…boleh-boleh aja,” jawabku. Ia suka menonton home theater yang aku punya di rumah. Bahkan terkadang ia main ke rumahku cuma untuk menyetel film kesukaannya dengan DVD. Karena tv-ku besar, makanya ia sangat suka sekali kalau nonton tv di rumahku.
“Hush,…ndak boleh seperti itu,” kata Bu Isti.
“Ibu, kan om bolehin,” katanya.
“Iya koq boleh, ndak apa-apa, tapi harus juga belajar ya? Ndak nonton terus,” kataku. “Agak nanti ya, soalnya rumah Om masih dibenerin.”
Ia setuju.
Aku pun akhirnya makan siang di rumah Bu Isti. Orangnya ramah dan masakannya juga enak. Setelah kenyang aku pun akhirnya pulang. Pekerjaan tukang sudah selesai.
Malamnya Luna main ke rumahku. Ia pun akhirnya menyetel kaset DVD yang ia bawa. Banyak banget. Bu Isti mengijinkan asal jangan lupa untuk pulang.
Aku masih di rumah itu sambil sesekali beres-beres dan bersih-bersih rumah sampai malam. Dan itu si Luna betah saja nonton. Sampe akhirnya ia tertidur di sofaku yang nyaman. Waduh aku bingung juga mau bangunin. Akhirnya kubiarkan saja. Saat itu Bu Isti datang ke rumahku. Untuk mengajak Luna pulang.
“Udah tidur bu,” kataku.
“Waduh trus bagaimana mas?” tanyanya.
“Biarin aja tidur di sini, sudah saya selimuti koq,” kataku.
“Maaf kalau merepotkan,” katanya. “Ya sudah, aku tinggal dulu deh kalau begitu, kalau nanti ia bangun suruh pulang ya mas?”
Aku mengangguk.
Tapi tampaknya Luna tak bangun-bangun juga, mungkin karena capek atau sofaku terlalu nyaman. Dan sudah pukul 10 malam. Perumahan ini memang sepi kalau jam segini. Bu Isti pun datang lagi. Aku saat itu masih membuka pintu dan duduk di teras.
“Belum bangun juga mas?” tanya Bu Isti.
“Belum bu, kalau ndak keberatan Bu Isti tidur di sini saja,” kataku menawarkan.
Ia agak ragu. “Tapi nanti dilihat tetangga ndak enak mas.”
“Tetangga yang mana bu, wong perumahan sepi seperti ini koq,” kataku. “Kalau mbak Erna sih sekarang malah belum pulang dari mall. Saya juga ndak enak kalau bangunin Luna.”
“Ya udah deh, makasih tawarannya,” katanya. Awalnya aku tak ada niat untuk punya pikiran ngentotin dia.
Akhirnya ia pun masuk rumahku. Karena sudah malam aku menutup pintu.
“Bu Isti tidur di kamarku saja, saya mau tidur di bawah, maaf kalau cuma punya satu tempat tidur. Soalnya yang satunya lagi tempat tidur bayi” kataku.
“Ndak mas, saya tidur di bawah aja dekat Luna,” katanya.
“Jangan, ntar kalau Bu Isti sakit saya yang bingung,” kataku.
Bu Isti kemudian terdiam sejenak. “Ya udah deh mas, gini aja kita tidur seranjang tapi jangan berdempetan ya?”
“Wah, nanti bisa berabe bu, takut saya,” kataku.
“Saya juga bingung, soalnya kebiasaan saya biasa ngelonin Luna dan takut tidur sendirian di rumah, gimana ya?…” Bu Isti tampak khawatir.
Aku pun berpikir keras. Hingga akhirnya. “Ya udah deh, kita tidur seranjang. Tapi ndak berdempetan. Misalnya nanti kalau sampai kelewat batas, saya tak tanggung jawab lho ya?”
“Emangnya kelewat batas seperti apa mas?” katanya sambil tersenyum.
“Ya, ibu tahu sendiri,” jawabku.
Bu Isti tertawa kecil. “Iya, iya, ibu tahu koq. Mas Doni ini paling setia sama istrinya.”
Akhirnya kami pun beneran tidur seranjang. Ada sesuatu yang unik. Sebelum tidur Bu Isti melepaskan bra-nya ia bilang biar ndak sakit kalau tidur. Dan kami pun tertidur saling membelakangi. Aku memang bisa tidur bahkan terlelap selama beberapa jam, hingga kemudian hawa dingin mulai masuk melalui angin-angin yang ada di kamar.
Secara tak sengaja aku dan Bu Isti berpelukan. Aku tak sadar dan dia tak sadar. Wajah kami bertemu kedua tangan kami saling merangkul. Bibir kami pun bertemu secara tak sengaja. Dan kami terbangun. Kami kaget dan saling membelakangi lagi.
“Maaf, mas,” katanya.
“Maafkan saya Bu, ndak sengaja,” kataku.
“Saya juga,” katanya.
Setelah itu kami terdiam. Aku tahu kami sama-sama tidak bisa tidur setelah itu. Sementara itu hawa dingin makin menusuk. Sialnya juga aku cuma punya satu selimut dan itu sudah aku berikan ke Luna. Ia pasti hangat dengan selimutnya. Aku menggigil.
“Mas, maaf apakah mas ngidupin AC kamar? Tolong matiin dong!” katanya.
“Saya ndak punya AC bu, ini memang hawanya dingin,” kataku.
Kami terdiam lagi.
“Mas ndak punya selimut lagi?” tanyanya.
“Tidak bu, udah dipakai oleh Luna,” jawabku.
Kami terdiam lama sekali, aku makin menggigil.
“Maaf, ibu kedinginan. Mas Doni kedinginan juga kan? Kalau boleh kita berpelukan biar hangat, sekali lagi maaf,” katanya.
Akhirnya tanpa berpikir panjang lagi aku memeluknya dari belakang. CESSSS…rasanya. Jantungku berdebar-debar. Dan aku bisa rasakan jantung Bu Isti juga berdebar-debar.
“Saya punya sarung bu, buat ibu kalau mau,” kataku.
Kemudian aku mengambil sarung dari lemari, Bu Isti bangun lalu menerimanya.
“Tapi buat mas apa?” tanyanya.
“Saya ndak apa-apa,” jawabku.
“Kita satu sarung saja mas, dingin banget hari ini,” katanya. “Maklum kita kan ada di kota M, makanya dingin apalagi ini pegunungan.”
Aku pun tak bisa berpikir panjang lagi, kami pun satu sarung. Saling berpelukan. Tubuh Bu Isti masih bagus. Dadanya masih kencang, kulitnya juga masih halus. Walaupun mungkin perutnya sedikit buncit. Aku memeluknya dari belakang, Kami sudah pakai dua sarung. Sebagian menutupi kaki kami, sebagian lagi badan kami. Sudah mulai hangat. Namun ternyata penisku tak bisa diajak kompromi. Karena terus menekan pantat Bu Isti akhirnya tegang juga.
“Mas, ada yang keras,” kata Bu Isti.
“Maaf bu, saya juga lelaki. Wajar kalau begini,” kataku.
“Iya, saya tahu. Keras banget tapi,” katanya. “Mas Doni sering main sama istrinya?”
“I..iya, kenapa bu?”
“Pantes saja, istrinya takluk begitu,” jelasnya.
Entah siapa yang memulai, kini mulutku yang ada di tengkuknya sekarang menciuminya.
“Bu Isti, maaf, tapi saya ndak tahan lagi bu. Saya kepengen bisa menjinakkan senjata saya ini. Udah kepingin,” kataku.
“Saya ngerti koq mas, ibu juga kepengen,” katanya. Ia lalu berbalik di dalam sarung yang sempit ini. Kami lalu berciuman. Tangannya yang dingin kemudian menuju ke penisku. Ia mengelus-elusnya dari luar kolor. “Besar ya mas?”
Kami berpanggutan, panase kali, aku tak sabar meremas-remas dadanya. Akhirnya Kami duduk, kemudian saling melepas baju kami semuanya. Kemudian saling berpelukan di dalam sarung lagi. Dada kami bersatu. Mulut kami berpanggutan dan kemaluan kami pun bertemu. Tak kusangka Bu Isti ini sudah becek di bawah sana.
“Saya sudah becek dari tadi mas, mikirin kita seperti ini,” kata Bu Isti. “ohh..masss…puasin ibu…ibu sudah lama ndak begituan sama suami.”
Penisku langsung masuk begitu saja memeknya. Memeknya memang jarang dipakai, akibatnya agak seret waktu digesek. Hawa dingin yang menusuk ini, kini sudah mulai menghangat, karena pergumulan kami makin hot di atas ranjang. Kami saling menciumi, ia menghisap leherku, aku juga. Kuhisap puting susunya menonjol itu kuat-kuat. Dadanya masih kencang walaupun usianya sudah kepala 4. Aku menekan-nekan pantatku, hingga Bu Isti terdorong ke tembok. Posisi ini ternyata lebih cepat membuatku untuk ejakulasi. Demikian juga Bu Isti.
“Mas, Ibu mau keluar, soalnya geli banget,” katanya. Mungkin juga karena hawa dingin yang membuat tubuh kami menggigil, karena itu membuat getaran-getaran tertentu yang merangsang testisku untuk cepat berproduksi.
“Sama bu, enak banget,” kataku.
Kami pun sama-sama keluar. Spermaku tumpah di rahimnya. Kami kemudian berguling-guling di atas ranjang, dan aku menindihnya. Bu Isti dan aku berpandangan sesaat. Kemudian kami berpanggutan lagi. Setelah itu kami saling berpelukan erat untuk mengusir hawa dingin yang menusuk.
Boro-boro untuk tidur. Kami malah saling bicara.
Bu Isti terus terang kalau ketika pertama kali berkenalan sudah naksir aku, tapi cuma dipendam saja. Ndak nyangka kalau berakhir di atas ranjang. Dan ia pun cerita kalau karena frekuensi bertemu dengan suaminya jarang, makanya ia susah mendapatkan kepuasan. Walaupun sudah lama hidup berumah tangga. Sessat kemudian kami punya energi lagi dan melanjutkan gairah ini. Aku sodok sekarang ia dari belakang sambil tetap berbaring di dalam sarung. Setelah orgasme lagi, aku mengulanginya lagi dari atas. Rasanya aku seperti menghianati Kak Vidia, karena bersenggama dengan orang lain di atas kasur kami.
Kami pun akhirnya tertidur kelelahan dan penisku serasa ngilu karena bercinta sampai 5 ronde malam itu.
Paginya Bu Isti bangun duluan. Karena aku mendapati tidur sendirian dengan sarung. Aku bangun dan melihatnya berpakaian.
“Sudah pagi mas, makasih ya semalam,” katanya. “Besok atau kapan-kapan diulang lagi. Ibu suka dengan ketahanan mas di atas ranjang.”
Kemudian kami berpisah dengan panggutan yang hot. Setelah itu ia membangunkan anaknya untuk pulang, karena Luna masih sekolah hari ini.
No comments