Cerita Hot Terbaru Nikmati Memek Basah Mertua Aku Yang Hot
Pasangan suami isteri yang baru menikah satu tahun yang lalu ini tentu sangat gembira dengan kedatangan pak Kadek yang telah bercerai dengan isterinya 6 tahun yang lalu. Terlebih lagi, meskipun Rina pernah bertemu dengan ayah mertuanya tersebut sebelumnya, tetapi pak Kadek tidak bisa hadir dalam pesta pernikahan mereka.
Selama sepekan Pak Kadek tinggal di rumah Ali yang mengajar di sebuah sekolah yang berhampiran dengan rumahnya. Semua berjalan normal sampai terjadi tragedi di hari akhir pak Kadek dirumah Ali.
Tragedi itu bermula pada hari libur pasangan Ali-Rina. Namun, hari itu Ali mengajar satu kelas tambahan di sekolah dan akan bertandang ke rumah salah satu siswa hingga Ashar. Seperti biasa Rina menyiapkan sarapan pagi untuk suaminya dan pak Kadek.
Selepas menghantar suaminya ke muka pintu, Rina sempat berbincang dengan mertuanya. Kemudian dia bergegas ke kamar mandi untuk mencuci baju. Pak Kadek yang kebetulan hendak pula buang air tanpa sengaja melihat ‘pemandangan’ yang merangsang. Rupa-rupanya Rina terlupa merapatkan pintu.
Mata liar pak Kadek tak lepas melahap tubuh mulus Rina yang tengah mencuci baju. Seingat pak Kadek, dia tidak pernah melihat tubuh menantunya dalam keadaan terbuka dengan hanya terbalut kain setinggi dada.
Tubuh mulus Rina yang semampai dengan tinggi 170-an, dengan kulit kuning langsat dan dada yang kencang membusung tersebut, selama ini selalu tertutup kerudung dan baju muslim yang rapat. Selain itu, menantunya terkenal dengan sifat sopan santun dan sangat menitikberatkan tentang soal penjagaan aurat. Malahan didalam rumah sekalipun menantunya tidak pernah menanggalkan kerudungnya melainkan ketika bersama suaminya saja.
Namun kini, kain tipis yang basah itu tak lagi mampu menyembunyikan kemolekan tubuh Rina dari tatapan penuh nafsu sang ayah mertua. Tak tertahan lagi, syahwat pak Kadek mengegelegak hingga ke puncak dan mendorongnya untuk membuka pintu kamar mandi yang hanya ¾ tertutup tersebut.
Rina yang merasakan kehadiran orang lain sangat terperanjat ketika menoleh dan menyaksikan pak Kadek sedang mendorong daun pintu. Secepat mungkin dia bangkit dan berusaha menutup pintu, hanya saja dia kurang gesit.
Pak Kadek sudah berhasil masuk ke dalam kamar mandi dan mendorong tubuh menantunya tersebut ke pinggir bak sebelum mengunci pintu. Norzaina terdesak ke pojok dengan wajah ketakutan melihat seringai binal yang menghiasi wajah mertua yang selama ini terlihat pendiam dan sangat dihormatinya.
‘Aa..Aayah apa yang ayah lakukan ini? i?! tanya Rina dengan terbata-bata . Pak Kadek hanya tersenyum sinis sambil matanya meliar ke segenap jengkal tubuh menantunya. Tanpa berucap sepatah katapun, Pak Kadek mulai menanggalkan pakaiannya satu persatu.
Rina terpekik ketika melihat “batang’ ayah mertuanya yang hitam dan besar serta tegak mengacung ke arahnya. “A..ayah jangan yahh, ttoo..long keluar, yah..tolong..”, keadaan ini sangat menakutkan lagi Rina apalagi ketika pak Kadek mulai beringsut mendekatinya.
Melihat permintaannya diabaikan, Rina yang tidak rela diperlakukan begitu mencoba untuk menerobos ke sisi kiri ayah mertuanya untuk mencapai pintu. Namun keadaan menjadi bertambah buruk ketika pak Kadek dengan sigap menangkap pinggang menantunya tersebut dengan tangan kirinya yang kukuh sembari tangan kanannya bergerak kilat menghentak lepas ikatan kain di dada Rina. “Breet” kain tipis bermotif batik coklat itupun jatuh terburai ke kamar mandi.
Terpampanglah tubuh mulus Rina yang hanya dibaluti kutang sutra berenda putih dan celana dalam mungil yang juga putih. Rina sangatlah malu mendapati dirinya nyaris bugil dan tengah dipeluk oleh ayah mertuanya yang sudah telanjang bulat.
Pak Kadek kini dengan bebas menatapi tubuh mulus menantunya dari dekat; dari dua bukit menawan yang menghiasi dada yang kembang kempis ketakutan hingga gundukan vaginanya yang begitu mengundang walaupun dibungkus kain sutra.
Baca Juga : Perawan Ku Diambil Adiku Sendiri Saat Aku Tidur
Bungkus indah itu justru mencetak lekat lekak liku dan guratan liang kemaluan menantunya yang rupawan. Bulu kemaluan yang membayang tipis serta mencuat malu-malu di sekeliling selangkangan Rina membuat pak Kadek tercekat dan tak mampu berkedip. Sebaliknya, Rina mendadak lemas, sendinya serasa luluh di dalam pelukan pak Kadek dan hanya mampu memejamkan matanya serta mulai menangis tertahan.
‘Huu.huu.. ayaah, jangan berbuat seperti ini ayah,..huu.huu.huu.. aku ini istri anakmu..” bisik Rina lirih sambil terus terisak. Pak Kadek yang telah lama tidak merasai kehangatan liang kemaluan perempuan sama sekali tak peduli.
Dihentakkannya tubuh Rina dengan penuh nafsu hingga tersandar ke dinding kamar mandi. Rina masih berusaha melindungi dirinya dari terkaman mertuanya. Dia kemudian membalikkan badan ke dinding berusaha menjaga payudara dan kemaluannya dari pandang liar pak Kadek.
Namun itu tak bisa menghentikan pak Kadek dan tanpa ba-bi-bu dia langsung merenggut kutang sutra berenda yang masih melindungi buah dada menantunya itu dari belakang. Robeklah kutang tersebut seiring dengan lepasnya kaitan akibat renggutan ganas pak Kadek dan “aaah..” mulut pak Kadek ternganga saat dia membalikkan tubuh Rina dan bersitatap dengan sepasang bukit kenyal dan ranum dengan dua puncak merah muda yang mendadak tersembul di depan dada perempuan muda tersebut.
Dengan nafas tersengal-sengal karena nafsu yang memuncak pak Kadek tak menunggu lama untuk beraksi. Dengan sigap dijejalkannya tengan kirinya ke mulut menantunya yang masih tersedu tersebut untuk menahan isakannya, sedangkan bibirnya yang tebal segera menuju ke arah dada Rina.
Pak Kadek walaupun sudah dicengkeram nafsu hingga ubun-ubun berusaha keras untuk tidak terburu-buru dalam memanfaatkan peluang ini. Bibirnya tidak langsung mengulum puting merah muda Rina namun dengan acak mengecup sekeliling buah dada kanan sang menantu.
Dia tidak hanya mencium namun bibir kasarnya juga mencecap dan mencubit pinggiran gundukan bukit itu dengan lahap. Secara bersamaan telapak tangan kanannya terentang menangkupi buah dada kiri Rina.
Jari-jarinya menyentuh pangkal buah dada dan pelahan mulai menekan-nekan dengan teratur. Puting kiri Rina yang berada di tengah telapak pak Kadek tentu saja tergesek-gesek bersamaan dengan gerakan jarinya yang makin lama makin kencang.
Rina meregang, dia dapat merasakan bibir dan jari jemari mertuanya menjelajahi dadanya. Wajahnya memucat dan lehernya mendongak tegang saat perasaan geli dan nikmat yang sebelum ini hanya didapat dari Ali, suaminya, kini dirasakan dari gelutan pak Kadek. Rasanya ingin memekik namun bibir mungilnya terhalang tangan pak Kadek.
Rina hanya mampu melenguh pendek di saat perasaannya mulai terbagi antara rasa terhina dan kenikmatan, antara malu dan perasaan bersalah dengan naluri wanitanya untuk menuntaskan birahinya yang mulai bangkit.
Pak Kadek peka akan hal ini, segera dieratkannya terkamannya. Bibirnya masih terbenam di dada Rina namun kini lidahnya mulai bermain, berputar menyapu buah dada itu dari pinggir menuju tengah serta menjilat tegak puting Rina yang mulai teracung kencang dan kemudian menghisap-hisapnya dengan dalam-dalam.
“Oooh..auugh..aaach..” desah tertahan menantunya makin sering terdengar saat tangan kanan pak Kadek tidak lagi berbasa-basi dan kini mulai meremas-remas buah dada kiri Rina serta jari jemari dan telapak tangannya bergantian memilin, menarik, dan memijit puting yang satunya lagi.
Tidak kurang dari lima menit pak Kadek menikmati dada menantunya dengan posisi berdiri. Berkali-kali lehar dan kepala Rina terhentak-hentak ke dinding mengikuti hisapan dan remasan pak Kadek. Kemudian tanpa terduga Rina yang mulai terbuai gairahnya, pak Kadek menggigit buah dada Rina sekencang-kencangnya dan tangan kanannya meremas keras puting kiri. “Aaaach..” jerit kesakitan bercampur kenikmatan dari bibir Rina menyeruak kencang karena saat bersamaan pak Kadek melepaskan tangan kirinya dari mulut sang menantu.
Tubuh Rina tersandar kaku di dinding, seluruh raganya mengejang dan kepalanya terdorong ke depan dengan bibir yang membulat tanpa suara ketika tangan kiri pak Kadek yang sudah bebas mulai menyelinap ke balik celana dalamnya, menggeser cepat di pinggir bibir kemaluannya serta kemudian menghujam langsung ke kelentitnya.
Telunjuk itu kemudian berputar-butar di dalam liang kemaluan Rina dan mengorek-ngorek kelentitnya dengan pilinan-pilinan liar. Bibir Rina makin membuka lebar saat tangan kanan Pak Kadek menarik turun celana dalam sutranya hingga robek dan dilemparkan ke pojok kamar mandi.
Pak Kadek kini sudah dalam posisi berjongkok, sambil terus mengorek kelentit menantunya matanya terbeliak lebar saat menatap kemaluan Rina yang terpampang begitu dekat di depan matanya. “oh.
Ali, engkau sungguh anak yang beruntung ..” batinnya dalam hati saat dia menyaksikan guratan dan lekak-lekuk vagina yang begitu menantang.
Di tempelkannya hidungnya disamping telunjuk kirinya yang masih giat bekerja dan kini mulai mengocok kencang. “Oooh.. sedaap..” desis pak Kadek saat dia membaui aroma wangi vagina yang mulai bercampur bau lelehan cairan kewanitaan di liang kemaluan Rina yang juga mulai bengkak.
Mata Rina masih terpejam, keringat membasahi punggung serta kepalanya sudah tersandar lagi ke dinding menahan rasa perih dan nikmat yang datang bergantian. Namun itu tidak berlangsung lama, kepalanya kembali terdorong ke depan dan mulutnya bibirnya kembali melenguh kelezatan saat pak Kadek melanjutkan aksinya.
“”Aiiih..aah..aaah..aaahhh..” desis itu keluar saat pak Kadek menggunakan lidahnya untuk menggantikan jari telunjuknya dalam memainkan kelentit Rina. Lidah pak Kadek menyisir pinggir luar bibir kemaluan Rina secara vertikal naik turun, naik turun, sebelum menggelincir ke tepi bagian dalamnya dengan menyapu liang hangat itu secara horizontal dan kemudian membenamkannya dalam-dalam secara berulang-ulang, keluar-masuk, keluar-masuk.
Pak Kadek seakan dimabuk kenikmatan yang mendalam. Dicecapnya hangat lipatan-lipatan vagina Rina dengan lahap. Sudah bertahun-tahun dia tidak merasakan sensasi yang dahyat ini. Dimainkannya kelentit Rina dengan lidah dengan sapuan-sapuan dan pilinan-pilinan kecil namun mantab.
Sembari mengulum dan menghisap, ke dua belah tangan pak Kadek mulai bergantian meremas bongkahan pantat Rina. Tak henti-henti kesepuluh jemari gempal pria uzur itu membenamkan cengekeramannya ke dalam dua bongkahan daging yang bulat tanpa cacat milik sang menantu.
Sesekali telunjuk kanannya menusk kerang lubang anus Rina dan mengocoknya. Tak terperikan gelombang kenikmatan yang menjalari segenap indra Rina. Tanpa sadar tangannya yang selama ini tergantung lemah di kedua sisi tubuhnya bergerak ke depan mencengkeram rambut tipis pak Kadek dan mendorong kepala mertuanya tersebut agar makin terbenam ke dalam kemaluannya.
Tak lama kemudian terdengar lolongan panjang sang menantu “Ooooouughhh…aaaayaaahhh…..” seiring dengan meledaknya seluruh gairah yang selama ini tertahan. Runtuh sudah pertahanan terakhir Rina, tubuhnya mengejan dan melengkung ke depan sementara seluruh liang vaginanya telah banjir dengan cairan kenikmatan.
Pak Kadek menarik wajahnya dari kemaluan Rina, tangannya dilepaskan dari kedua bongkah pantat sang menantu dan diapun beringsut mundur. Dipandangnya tubuh lemas Rina pelahan-lahan merosot turun di dinding kamar mandi sampai akhirnya kemudian terduduk.
Mata Rina terpejam, bibirnya membentuk bulatan “o’ kecil sementara tarikan garis wajahnya menyiratkan kepuasan yang tak terkira sebelum kemudian wajah rupawan itu terkulai ke arah bahu kiri. Tanpa menunggu waktu lama pak Kadek bergerak maju lagi.
Ditariknya kedua kaki Rina hingga tubuhnya sepenuhnya telentang di lantai kamar mandi dan tidak lagi bersandar di dinding. Dengan sigap dijilati bagian dalam paha kanan Rina sementara tangan kirinya berkeliaran mengelus-elus paha dan betis kanan Rina. Rina hanya memandang sayu, sementara kepalanya, menggeleng-geleng pelahan ke kiri dan ke kanan mencoba menahan rangsangan baru yang dilakukan pak Kadek.
Tiba-tiba Rina memekik kecil saat tanpa berkata apapun, pak Kadek menyibakkan lebar-lebar ke dua kaki Rina yang sebelumnya masih terentang berdekatan. Rina sadar akan apa yang akan dilakukan oleh mertuanya kemudian.
Dengan lirih menahan segala gairahnya Rina masih berusaha berbisik mengingatkan pak Kadek “Jangan ayah..jang..auuuh”, bisiknya terpotong saat batang pak Kadek yang sudah hampir setengah jam tegak itu menerobos masuk ke dalam liang kemaluannya.
Dua tangan perkasa pak Kadek mengunci bahunya sehingga dia tak mampu melawan saat tubuh tambun mertuanya mulai menindih raganya. Kedua kaki Rina yang terbuka memudahkan batang pak Kadek memasuki lubang vaginanya.
Sedikit demi sedikit batangnya disodok-sodokkan keluar masuk dalam liang yang telah basah berlendir tersebut, awalnya pelan kemudian makin lama makin laju. Kadang-kadang pak Kadek menahan batangnya di tengah liang kemudian memutar pinggulnya pelahan dan mantap bergantian ke arah kiri dan kanan, lalu kemudian tiba-tiba dibenamkannya lagi dalam-dalam hingga menembus pangkal vagina Rina.
Lama kelamaan Rina tidak mampu lagi berbuat apa-apa selain mengikuti langgam sodokan dan tarikan ayah mertuanya. Terlebih lagi karena bibir dan lidah pak Kadek tak pernah henti menyapu perut, dada, leher, dan bibir Rina.
Satu waktu saat menyodokkan batangnya dalam-dalam, bibir pak Kadek secara bersamaan melumat puting kiri dan kanan Rina secara bergantian. Rina hanya mampu memejamkan mata menahan kegairahan yang telah menguasai dirinya lalu setelah hampir lima belas menit lolong kecilnya kembali terdengar di sela-sela deru nafas pak Kadek “Eemmmm..urrrghh..aaahhhhhh, aaahhhh, aahhhh…”
Untuk kedua kalinya perempuan cantik itu meledak dalam birahi. Dagunya kemudian mendongak dengan mata yang membola meskipun bibirnya telah terkatup rapat.
Pak Kadek menyeringai lebar saat melihat menantu tersayangnya tenggelam dalam kenikmatan. Ditunggunya sampai kepala Rina terkulai lagi ke lantai dan matanya terpejam. “hmm.. ayo sayang, permainan kita belum selesai..” geram pak Kadek saat dia dengan kasar membalikkan tubuh Rina.
Pak Kadek yang nafsunya masih tidak puas, memaksa Rina yang sudah tidak berdaya itu untuk menungging dengan siku menempel lantai. Segera disibakkannya dua bongkah pantat untuk membuka jalan bagi batangnya yang masih tegak mengacung ke arah liang kemaluan Rina.
Setelah menggigit dua bongkahan daging itu dengan bernafsu, tangan pak Kadek memegang sisi punggung menantunya lalu menekan batangnya kedalam lubang vagina Rina. Punggung Rina yang besar dan putih membuatkan pak Kadek semakin bernafsu.
“Aaah..sakkkiiitttt ..ayahhh..”, jerit Rina saat liang vaginanya kembali ditusuk-tusuk oleh batang pak Kadek dengan beringas. Sodokan-sodokan pak Kadek dengan gaya doggy style ini sedemikian laju sehingga kembali membuat Rina merem melek dan mendesisi-desis, namun ketika merasakan bahwa tubuh pak Kadek mulai mengejan seakan menuju klimaks
Rina pun panik dan berusaha menahan goyangan sang mertua menjerit “..jangaannn, jangn lepaskan didalamm..yahh’, pintanya dengan lirih. Pak Kadek sesaat berhenti dan kemudian berkata “Baiklah Lina tapi dengan satu syarat”, kata pak Kadek. “Lina harus hisap batang ni sampai keluar air kalau tidak ayah lepaskan mani ayah ke dalam rahimmu, bagaimana?”. “Baiklahhh” jawab Rina dengan pasrah.
Pak Kadek segera merambat naik menuju ke arah kepala Rina yang sudah kembali telentang di lantai. Dia meletakkan kedua lututnya di samping Rina dan kemudian menarik wajah ayu yang tengah lunglai itu untuk menghadap batangnya yang masih tegak.
“Ayo Lina, kulum batang ayah”. Walaupun jijik, Rina terpaksa mengulum batang pak Kadek. Batang yang hitam dan berotot itu segera saja emmenuhi rongga mulut Rina. Kuluman demi kuluman segera dilakukan Rina dengan sis tenaga yang ada. Seesekali pak Kadek memintanya bergantian untuk menjilat, mengulum dan mengocok.
Sudah lebih lima menit Rina melakukan itu semua namun pak Kadek belum menunjukkan tanda-tanda ingin berejakulasi. Malahan pak Kadek terus meramas buah dada menantunya itu. Akhirnya Rina kepenatan.
‘Ayah..jangan dilepaskan di dalam..ayah..’, rayu Rina setengah sadar saat tenaganya telah musnah dan kesadaran mulai meninggalkan dirinya. Rina pun pingsan karena keletihan. Melihat hal ini pak Kadek kembali menyeringai lebar.
Direngkuhnya tubuh menantunya yang sudah terkulai lemas tersebut lalu direntangkannya kembali kedua kaki Rina. Tanpa disadari Rina, pak Kadek kembali membenamkan batangnya ke dalam liang kemaluan menantunya serta melakukan sodokan-sodoakan yang lebih liar dan kencang daripada sebelumnya.
Sesaat kemudian pak Kadek pun mengejan wajahnya tegang mendongak ke atas dengan batang yang tertanam penuh dalam liang vagina Rina, lalu “ Aaaaargh… Linaaaaa….aarrghhh..” cairan sperma menyembur dari batang pak Kadek memenuhi setiap lekuk dan liku vagina Rina dan mengalir deras menuju rahimnya. Pak Kadekpun terkulai lemas di atas tubuh sang menantu.
Setelah beristirahat selama satu jam, pak Kadek pun bangkit. Rina masih terkulai lemah di lantai kamar mandi. Pak Kadek tersenyum puas mengingat kembali pengalaman indah yang dirasakannya bersama Rina.
Dengan hati-hati pak Kadek membopong tubuh Rina kembali ke kamar setelah mengenakan pakaiannya. Dia pun menunggu Rina tersadar dan mengancam menantunya tersebut untuk tidak menceritakan apa yang terjadi kepada Ali.
Akhirnya, setelah Dzuhur, pak Kadek meninggalkan rumah dan terus pulang ke kampung. Rina yang malu telah merahasiakan kejadian itu dari pengetahuan suaminya selama berbulan-bulan dan berharap mertua jahanam tersebut tidak pernah akan muncul berkunjung lagi.
Dua bulan berlalu sejak peristiwa di bilik mandi tersebut dan Rinapun mendapati dirinya hamil. Suaminya, Ali, gembira tiada kepalang mendapat berita itu tanpa mengetahui perkara sebenarnya. Sebaliknya Rina sangatlah gelisah.
Walaupun pak Kadek telah berjanji untuk tidak menumpahkan spermanya ke dalam liang kemaluannya, namun karena tidak sadarkan diri Rina tidak pernah tahu pasti akan hal itu (baca bagian 1) . Hanya saja, Rina memilih untuk memendam ketakutannya itu sambil berharap agar mertua jahanamnya tersebut tidak berbuat curang dan tak lagi datang untuk mengganggu kehidupannya kembali.
Rina pun melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat. Selepas 7 bulan melahirkan Hafiz, anak laki-lakinya tersebut, dia hidup dalam kebahagiaan bersama dengan suaminya. Pak Kadek yang menghilang tiada kabar berita membuat hidupnya perlahan-lahan kembali mulai tenang. Hanya saja, kebahagiaan itu tidak berusia panjang.
Suatu petang, sepulang Ali dari mengajar di sekolah, dia berkabar bahwa pak Kadek akan berkunjung lusa untuk menengok cucu pertamanya. Dingin terasa sekujur tubuh Rina saat mendengar berita dari suaminya tercinta.
Kedamaian yang dia pikir telah didapatkan tiba-tiba saja kembali terancam bahaya.
“Ada apa, Lina? Kamu tampak terkejut mendengar bapak hendak berkunjung?”, tanya Ali padanya,
“Kau tak suka kah dia menengok Hafiz?” tanyanya lebih lanjut.
“Ti..tidak, bang. Li…Lina hanya kaget karena sudah setahun lebih beliau tiada berkabar berita..”, Rina berusaha menutupi kegugupannya. “Oh, bapak memang selalu begitu.
Setahun ini dia berniaga ke Trengganu dan baru tahu kelahiran Hafiz dari bibi saat pulang kampung kemarin..” tutur Ali tanpa menangkap gebalau perasaan Rina.
“Begitukah, bang? Tapi kalau memang lusa beliau datang, Lina harap abang bisa menunda kepergian abang ke Kedah hingga beliau pulang”, bujuk Rina, “Lina takut tidak bisa menjamu beliau dengan baik kerana sibuk menjaga Hafiz”, pinta Rina dengan cemas.
“Baiklah, Lina, karena bapak cuma tiga hari di sini, abang akan tunda perjalanan ke Kedah sampai beliau kembali ke kampung”, kata Ali.
“Terima kasih, bang”, Rina menghela nafas lega karena tidak akan sendirian menghadapi pak Kadek.
Pak Kadek datang lusa petang dengan dijemput Ali di stesen bas. Tidak banyak yang berobah dari mertuanya itu dari saat terkahir mereka berpisah. Perutnya makin tambun dan kulitnya makin legam, namun yang membuat Rina gemetar adalah tatapan mata pak Kadek yang makin liar setiap kali memandang ke arahnya.
Mata yang tajam itu seakan mampu menengok menembus kerudung dan baju kurung rapat yang selalu dipakai Rina. Tatapan mertuanya itu membuatnya mual dan berkunang -kunang setiap kali mereka bertemu pandang karena mengingatkan Rina kembali atas apa yang telah dilakukan pak Kadek terhadapnya. Seakan masih terasa benar kecupan-kecupan panas dan remasan kasar pak Kadek di sekujur tubuhnya. Sebaliknya, pak Kadek bersikap seakan tiada pernah terjadi apapun di antara mereka.
Dua hari sejak kedatangannya semua masih aman bagi Rina. Pak Kadek lebih banyak berbincang dengan Ali, sedangkan Rina lebih sering menghindar dan meminta mak Siti, janda tetangga sebelah, untuk menemani menjaga Hafiz setiap saat Ali harus pergi mengajar.
Namun, naas menimpa pada malam terakhir. Seusai santap malam, Rina sibuk mencuci piring di dapur sementara Ali dan pak Kadek sedang berbincang di teras depan. Rina bersenandung kecil, hatinya dipenuhi kelegaan karena esok semua sumber ketakutan dan mimpi buruknya dalam dua hari terakhir akan berlalu.
Pikirannya yang menerawang sambil sibuk membasuh piring sisa santap malam membuatnya tidak bersiaga dan tak sedar saat seseorang berjingkat memasuki dapur.
“Oough..”, Rina terpekik saat sebuah lengan yang kekar melingkar di pinggangnya yang ramping dan di saat bersamaan sebuah kecupan yang ganas mendarat di tengkuknya, menembus kerudung yang dikenakannya.
“ Lina..kamu semakin cantik ya..”, suara serak yang berbisik lirih ditelinga Rina kemudian serasa melumpuhkan seluruh indera wanita muda tersebut. Benaknya tercekam dengan kengerian oleh ingatan peristiwa memalukan yang dialaminya setahun lalu dan gelas yang tengah dicucinya pun terlepas dari gengamannya.
“kenapa, sayang? Kamu tak rindukah dengan ayah..? Ayah kangen sekali Lina..”. Pak Kadek yang kini telah memeluk Lina dari belakang tidak menyia-nyiakan kelengahan dan keterkejutan Rina. Sambil terus berbisik dan menciumi tengkuk dan bahu menantunya yang masih tertutup jilbab lebar, tangan kiri pak Kadek yang semula melingkar di pinggang Rina perlahan merayap turun mengarah ke pangkal paha terus ke bagian depan kemaluan Rina.
Sementara itu di saat yang bersamaan jari-jemari tangan kanannya menyusup di balik baju kurung longgar yang dikenakan Rina dan dengan cepat menyusur dari perut ke arah dadanya.
“Aaaugh..aayah..ach..bang aalii..auugh..toolong..” Rina menjerit tertahan menahan kecupan yang bertubi-tubi diterimanya. Tubuhnya yang semampai terbungkuk ke depan saat jemari kasar pak Kadek yang terentang lebar telah menggenggam organ kewanitaannya dan mulai meremasnya dengan ganas.
Kedua tangan Rina mencengkeram erat tepi tempat mencuci piring sedangkan paha kanannya yang secara refleks bergerak ke depan mencoba menahan serbuan pak Kadek walaupun tanpa disadarinya justru menjepit cengkeraman pak Kadek di vaginanya lebih erat.
Pak Kadek terkekeh melihat reaksi gugup menantunya tersebut. Jepitan paha Rina tidak mampu menghalangi kelincahan jari jemarinya untuk tidak hanya meremas namun juga sesekali menusuk celah kemaluan Rina.
“Aaauch…”, belum lagi Rina mampu meredam permainan jari lelaki tua tersebut, matanya yang semula terpejam menjadi terbeliak dan tubuhnya yang merunduk tersentak ke belakang saat jemari pak Dolah yang lain berhasil masuk di balik kutang sutranya serta mulai meremas payudara dan memilin puting susu kanannya serta menjepit dan menarik-nariknya.
“Tenang, Lina. Ali sedang bertandang ke rumah Hassan. Ayah pastikan kita punya waktu yang cukup untuk saling melepas rindu.he.he..he.”, pak Dolah melanjutkan bisikannya sambil kesepuluh jemarinya bekerja meremas, menusuk, mengobel, memilin dan mencubit dengan buas.
Rina seakan lumpuh mendengar perkataan mertuanya. Tubuhnya bergantian terhentak ke belakang serta terbungkuk ke depan saat remasan-remasan yang dilakukan pak Kadek bertubi-tubi mengaduk vagina dan payudaranya.
“Serangan” yang dilakukan pak Kadek baru berlangsung tak lebih dari sepuluh menit namun waktu seakan berhenti bagi Rina. Kain kurungnya telah tersingkap sampai ke pinggang sehingga tangan kanan pak Kadek dengan leluasa sudah mencengkeram bulat-bulat kewanitaan Rina dari balik celana dalam satinnya.
Jari tengahnya sudah bermain dengan kelentit menantunya dan tak jemu mengocok liang kewanitaan Rina yang mulai basah dengan cairan kewanitaan yang membanjir. Sementara itu lidah dan bibir pak Kadek tanpa henti mencecap dan menjilat leher jenjang Rina yang telah terbuka karena kerudung putihnya telah disingkapkan ke atas dan menutupi wajahnya yang tertunduk lemah.
Tiadanya perlawanan yang berarti dari Rina tersebut tentu saja juga memudahkan kerja pak Kadek di payudara wanita itu. Bergantian sepasang bukit yang ranum itu dijelajahinya bolak-balik dengan mudah. Telapak tangannya memutar dan meremas, mencengkeram keras dan menekan-nekan tiada hentinya gundukan daging yang lembut dan kenyal tersebut.
Pandangan Rina makin lama makin gelap, remasan dan permainan jari yang dashyat dari sang mertua membuat kesadarannya main melayang. Nafasnya makin lama makin tersengal. . Sebaliknya, pak Kadek makin bersemangat.
Tangannya yang semula sibuk mengocok liang kewanitaan Rina secara kasar menyentakkan celanan dalam sang menantu dan menariknya ke arah bawah. Tanpa bisa dicegah kain segitiga satin yang mungil itu terus melorot hingga ke bawah lutut.
Pak Kadek terpana melihat bongkahan pantat mulus yang kini tersaji dihadapannya. Tanpa sedar dia berdecak “ck.ck.ck.., betapa indahnya engkau Lina..’. Kedua tangan bandot tua itu segera saja meremas dengan gemas daging yang lembut itu.
Rina hanya mampu menggeliat kecil ketika sebuah rangsangan yang hebat merambat dari remasan pak Kadek dan menggetarkan seluruh inderanya. Tanpa menunggu reaksi sang menantu lebih lanjut, pak Kadek berlutut di belakang Lina sehingga wajahnya sejajar dengan celah pantat Rina.
Kedua tangannya kemudian mencengkeram paha Rina dan kemudian menyibakkannya lebih lebar. Sekejap kemudian pak Kadek menundukkan kepalanya dan mulai memainkan bibir dan lidahnya di kemaluan wanita malang itu.
Pertama-tama ditekankannya wajahnya ke seluruh permukaan vagina Rina yang sudah basah kuyup akibat ketrampilan jari-jemari pak Kadek. Dihirupnya dalam-dalam bau harum vagina sang menantu yang telah bercampur dengan bau merangsang cairan kewanitaannya.
“Sruup, sruuuup…”, bibirnya mendecap limpahan cairan tersebut dan memagut erat celah kewanitaan Rina yang telah menguak lebar. Seluruh tubuh Rina bergetar lemah, bibirnya tak mampu memekik dan hanya berbisik lirih saat lidah kasar sang mertua mulai menyusuri tiap jengkal vaginanya.
Lidah itu bergerak liar tidak hanya menyusur ke dalam liang kenikmatannya namun juga menyapu tandas setiap celah lipatan yang ditemuinya. Decapan-decapan bibir yang ditingkahi gigitan-gigitan kecil yang terus berulang membuat Rina luluh.
Tubuhnya kini sepenuhnya tiarap bertumpu sepenuhnya pada bak cucian tanpa daya. Kepalanya hanya menggeleng ke kiri dan ke kanan saat gigi-gigi pak Kadek menggigit ganas bongkahan kewanitaannya.
Namun agaknya pak Kadek belum merasa puas. Setelah direguknya kelezatan vagina Rina, diapun bangkit kembali. “Tahan sayang.. ayah masih mau ragakan satu permainan lagi…he..he.he..”, sambil terkekeh kecil pak Kadek menekan tubuh menantunya ke depan hingga makin mencondong ke bak cucian sementara tangan kirinya menjemba pinggang Rina dan menunggingkannya sedikit ke atas.
Diturunkannya resleting celananya yang sudah sesak dengan batang penisnya yang telah menggembung dari tadi. Segera teracunglah batang yang liat dan hitam itu di depan bongkahan pantat Rina. Tanpa aba-aba batang itu menusuk deras ke dalam celah pantat Rina.
“Aaaarghhh…” selunglai apapun Rina, tubuhnya mengejang hebat saat penis perkasa sang mertua dengan laju menyumpal kewanitaannya. Tubuhnya yang semula seakan teronggok lemah di meja bak cucian tiba-tiba terangkat, wajahnya memerah dengan bibir yang membulat sebelum kemudian kembali luluh.
Kegelapan mulai merayapi pandangan Rina saat pantatnya berguncang-guncang mengikuti irama sodokan penis pak Kadek. Tusukan-tusukan pak Kadek yang makin lama makin kencang dan dalam itu seakan menghentak-hentak kesadaran wanita malang tersebut.
Dia hanya mampu bergumam lirih setiap sodokan-sodokan panjang yang dilakukan pak Kadek bergantian dengan tusukan-tusukan pendek dan cepat menghujam dalam-dalam ke vagina Rina. Dalam keadaan yang sangat menderita tersebut Rina hanya dapat berharap agar mertuanya tersebut tidak sampai berejakulasi dan menumpahkan spermanya ke dalam peranakannya.
Untunglah, sebelum Rina kehilangan kesadaran secara penuh dan pak Kadek mencapai puncak, tiba-tiba terdengar bunyi pintu pagar berderit dan salam diucapkan. “Bedebah.”, pak Kadek menggeram pelan dan menyumpah-nyumpah karena menyadari Ali telah pulang.
Ditusukkannya penisnya ke liang kemaluan Rina untuk terakhir kalinya sambil berbisik “ sudah dulu ya sayang..”. Bibir Rina mendesis lemah saat menerima tusukan yang dilakukan pak Kadek dalam-dalam tersebut. Pak Kadek bergegas melepaskan pelukannya dan menarik celana dalam satin Rina kembali ke atas.
Dengan sigap dia menegakkan tubuh Rina serta menurunkan kembali baju kurung dan kerudung menantunya sehingga seluruh tubuh wanita itu kembali tertutup rapat. Sebelum meninggalkan dapur dia berbisik lirih ke telinga Rina “ Jangan kau bilang ini kepada Ali, sayang jika kau masih sayang anakmu ..”
Kemudian dengan sigap dia bergerak keluar dapur menuju ruang tamu untuk menyambut Ali di beranda untuk memberikan waktu pada Rina membenahi diri dan memulihkan kesadarannya. Rina masih bertumpu lemah di bak cuci, pandangannya nanar dan pikirannya masih beku.
Benaknya dicekam kengerian mendengar ancaman mertuanya tersebut. Dia sadar bahwa bajingan tua itu tidak sekadar menggertak. Namun, dia bersyukur bahwa Ali datang sehingga dia bisa terhindar dari aib yang lebih besar. Dia berharap malam segera berlalu dan esok mertua durjananya segera pulang ke kampung sehingga mimpi buruknya akan berakhir.
No comments